Pemetaan dan Evaluasi Kualitas Udara Berbasis Analisis Geospasial

Sistem pemantauan konvensional yang berbasis stasiun darat sering kali memiliki jangkauan spasial yang terbatas, mengakibatkan adanya celah data kualitas udara. Artikel ini membahas pendekatan analisis geospasial untuk mengintegrasikan Google Earth Engine (GEE) dan QGIS dalam pemantauan kualitas udara.

Latar Belakang dan Urgensi

Isu pencemaran udara telah menjadi masalah lingkungan yang serius di banyak kota besar di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Kota-kota metropolitan seperti Jakarta sering menjadi sorotan media akibat fenomena kabut polusi yang mengkhawatirkan. Dampak polusi udara terhadap kesehatan manusia telah terdokumentasi secara luas, dengan paparan gas beracun seperti nitrogen dioksida (NO2​), sulfur dioksida (SO2​), dan partikel halus (PM2.5​) bertanggung jawab atas jutaan kematian prematur setiap tahunnya.

PM2.5​ dan NO2​ adalah dua polutan yang paling berdampak pada kesehatan publik, yang mana PM2.5​ terkait dengan berbagai masalah pernapasan, sementara NO2​ umumnya berasal dari pembakaran bahan bakar fosil dan menjadi indikator kuat aktivitas manusia seperti lalu lintas kendaraan dan industri.

Namun, salah satu hambatan utama dalam mengelola krisis polusi udara adalah keterbatasan jaringan stasiun pemantauan kualitas udara darat yang ada di banyak kota dan negara, termasuk Indonesia. Kesenjangan data ini mengakibatkan gambaran umum mengenai distribusi dan tingkat polusi secara spasial dan temporal menjadi tidak merata. Jaringan pemantauan darat yang ada tidak cukup merata untuk wilayah Indonesia yang luas, yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk memantau polusi secara real-time di seluruh wilayah perkotaan.

Penginderaan Jauh untuk Mengisi Kekosongan Data

Berkaitan dengan hal tersebut, penginderaan jauh (remote sensing) muncul sebagai solusi. Penginderaan jauh memungkinkan pengumpulan data polusi udara dari satelit yang mengorbit Bumi, dan menawarkan pendekatan yang lebih cepat, hemat biaya, dengan jangkauan spasial yang tidak tertandingi dibandingkan metode pemantauan konvensional. Data satelit dapat membantu mengidentifikasi area yang kemungkinan memiliki konsentrasi polutan jauh di atas tingkat batas aman, khususnya di wilayah yang sama sekali tidak memiliki stasiun pemantauan darat. Dengan kata lain, penginderaan jauh dapat mengisi kesenjangan data dan menyediakan informasi yang dibutuhkan untuk pemantauan kualitas udara yang efektif dan merata.

Karakteristik dan Pemanfaatan Data Satelit

Cara Kerja Satelit

Sensor pada satelit mengukur konsentrasi polutan dengan mendeteksi spectral signature dari partikel dan gas di atmosfer. Bagaimana bisa? Hal ini dapat terjadi karena setiap partikel di atmosfer menyerap, menghamburkan, dan memantulkan radiasi elektromagnetik pada panjang gelombang tertentu, dan sensor satelit dirancang untuk menangkap informasi ini.

Terdapat perbedaan signifikan antara data hasil dari satelit dan data stasiun darat. Stasiun pemantauan darat mengukur konsentrasi di permukaan (ground-level concentration), yaitu apa yang dihirup oleh manusia. Sementara itu, satelit mengukur konsentrasi di kolom atmosfer vertikal (vertical atmospheric column), yang merepresentasikan total jumlah polutan dari permukaan Bumi sampai di lapisan atmosfer teratas. Pengukuran vertical atmospheric column ini kemudian dikonversi menjadi perkiraan konsentrasi permukaan menggunakan statistik atau model meteorologi lainnya. Dia jenis data ini kemungkinan tidak sesuai, sehingga, perlu dilakukan validasi data satelit dengan data dari stasiun darat.

Berbagai Sensor Satelit dan Perannya

Satelit-satelit pengamatan Bumi dilengkapi dengan instrumen yang dapat mengukur polutan udara. Beberapa satelit yang akan dibahas untuk analisis kualitas udara adalah Sentinel-5P, Terra/Aqua, dan Landsat 8/9, masing-masing dengan peran dan karakteristiknya masing-masing.

Sentinel-5 Precursor

ESA Sentinel-5P satellite model, cut out on a white background
Satelit Sentinel-5 Precursor (Sentinel-5P) adalah satelit yang diluncurkan pada tahun 2017 lalu dan memiliki fokus untuk memantau atmosfer Bumi. Sentinel-5P membawa Tropospheric Monitoring Instrument (Tropomi) untuk memetakan gas polutan di atmosfer, seperti NO2, O3, HCHO, SO2, CO, dan aerosol, yang mana mempengaruhi udara yang kita hirup, sehingga, secara langsung, mempengaruhi kesehatan kita dan iklim Bumi. Data NO2​ dari Tropomi signifikan karena gas NO2 berfungsi sebagai tracer aktivitas pembakaran bahan bakar fosil. Perubahan kadar NO2 di atmosfer dapat mencerminkan naik-turunnya emisi dari lalu lintas dan industri.

Terra dan Aqua

Image of the Terra spacecraft with transparent background.
Sensor MODIS yang terpasang pada satelit Terra dan Aqua berperan penting dalam mengukur Aerosol Optical Depth (AOD). AOD adalah ukuran seberapa banyak cahaya yang dihamburkan atau diserap oleh aerosol di atmosfer, sehingga menggunakan ukuran AOD kita dapat pula mengukur konsentrasi partikel halus seperti PM2.5​ dan PM10​. Untuk mendapatkan nilai AOD, ada dua algoritma utama yang dapat digunakan, yaitu Dark Target dan Deep Blue. Dark Target untuk area gelap seperti lautan dan hutan, serta Deep Blue untuk area terang seperti gurun dan perkotaan.

Meskipun resolusi spasial sensor MODIS lebih rendah dari TROPOMI, data AOD sangat vital karena partikel adalah polutan yang paling merusak kesehatan, dan GEE mempermudah integrasi data AOD dengan data polutan gas lainnya untuk analisis yang lebih mendalam.

Landsat 8 & 9

Artist's rendering of Landsat Data Continuity Mission (LDCM) from above
Landsat mungkin tidak mengukur polutan gas secara langsung, namun perannya dalam pemetaan kualitas udara sangat penting sebagai sumber data pendukung. Landsat menyediakan citra permukaan Bumi dengan resolusi spasial yang sangat tinggi (30 meter untuk skala global), ideal untuk menganalisis penggunaan lahan dan penutup lahan. Peta tutupan lahan yang dihasilkan dari Landsat dapat di-overlay dengan peta polusi gas dari Sentinel-5P atau Terra/Aqua untuk mengidentifikasi korelasi spasial yang signifikan. Misalnya, analisis dapat menghubungkan area dengan konsentrasi NO2​ tinggi dengan lokasi industri atau jaringan jalan raya yang padat. Selain itu, indeks vegetasi seperti Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) dari Landsat dapat dikorelasikan dengan tingkat PM2.5​ untuk mempelajari peran vegetasi dalam mitigasi polusi.

Studi kasus yang dituliskan oleh program Thematic Research Network on Data and Statistics oleh United Nation’s Sustainable Development Solutions Network (SDSN TReNDS), serta laman keuntungan pemanfaatan data Landsat telah menuliskan hubungan penting antara data Landsat dan pemantauan kualitas udara.

Google Earth Engine untuk Trend Analysis

The Earth Engine Code Editor at code.earthengine.google.com
Keunggulan utama Google Earth Engine (GEE) adalah user tidak perlu mengunduh dan menyimpan data geospasial (misalnya citra) yang besar, karena, semua perhitungan dan pengolahan data dilakukan di server Google. GEE menyediakan katalog data global yang selalu diperbarui, begitu juga untuk dataset dari Sentinel-5P, MODIS, Landsat, dan satelit/sensor lainnya. GEE memungkinkan user untuk menganalisis time-series polusi skala regional hingga global yang masif dengan cepat dan efisien. Pengolahan data kualitas udara untuk trend analysis di GEE dapat dilakukan dengan alur umum sebagai berikut:

Mengimpor Data dan Menentukan AOI

Langkah pertama adalah memanggil kumpulan data yang relevan dari katalog GEE, misalnya COPERNICUS/S5P/OFFL/L3_NO2 untuk data NO2​ dari Sentinel-5P. Kemudian, dilakukan penentuan area geografis yang akan menjadi fokus analisis, atau dengan sederhana dikenal dengan area of interest (AOI).

Mengfilter Data Berdasarkan Waktu dan Kualitas

Setelah data dipanggil, data perlu difilter berdasarkan rentang tanggal yang diinginkan menggunakan fungsi .filterDate(). Selanjutnya, untuk memastikan analisis memiliki akurasi yang baik, dilakukan filter data berdasarkan nilai kualitas (QA). Misalnya, disarankan untuk menggunakan piksel dengan nilai QA di atas 75% untuk NO2, sementara, nilai QA untuk Aerosol Index (AI) harus lebih dari 80%. Langkah validasi ini penting agar peta yang dihasilkan representatif dan tidak bias terhadap kondisi sebenarnya.

Agregasi Spasio-Temporal

Agregasi spastiotemporal di sini maksudnya adalah “menghilangkan” awan. Area yang tertutup awan sama dengan area yang tidak memiliki data. Dengan menggunakan fungsi seperti .mean() atau .median(), seluruh citra dari rentang waktu yang dipilih dapat di-“satukan” atau diagregasi menjadi citra yang mewakili nilai rata-rata polutan di seluruh area. Proses ini efektif untuk mengisi celah data dan menghasilkan peta yang utuh dan representatif untuk long-term trend-analysis.

Klip Data dan Visualisasi Awal

Citra yang telah diagregasi kemudian dapat di-clip sesuai dengan AOI yang ditentukan. Untuk visualisasi awal, dapat diwarnai menggunakan palet kustom dari GEE, sekadar untuk membedakan tingkat konsentrasi polutan.

Persiapan untuk Import ke QGIS

Setelah analisis di GEE selesai, hasilnya (misalnya, rata-rata konsentrasi NO2 per tahun​) diekspor dalam bentuk GeoTIFF agar dapat digunakan di QGIS. GeoTIFF menyimpan informasi spasial dan koordinat di dalam file itu sendiri sehingga tidak ada informasi yang hilang ketika diimport ke QGIS.

Visualisasi dan Analisis Spasial Lanjutan Menggunakan QGIS

QGIS dapat melakukan visualisasi dan analisis spasial yang tidak bisa dilakukan di GEE. Sebagai perangkat lunak open-source, QGIS dapat diakses secara gratis, menjadikannya pilihan yang sangat terjangkau bagi praktisi geospasial.

Impor Data GeoTIFF

File GeoTIFF yang diunduh dari GEE dapat dengan mudah diimpor ke QGIS sebagai layer raster. Karena file tersebut sudah ter-georeferensi, data akan ditempatkan pada koordinat yang benar secara otomatis .

Pengaturan dan Simbolisasi

Di QGIS, pengguna dapat mengatur sistem koordinat proyek (CRS) agar sesuai dengan data. Kemudian, visualisasi data dapat disesuaikan menggunakan alat simbologi yang lebih fleksibel dibanding di GEE. Simbolisasi yang jelas dan mudah dipahami, seperti gradien warna yang mewakili konsentrasi polutan, sangat penting untuk mengkomunikasikan informasi polutan kepada pembaca peta.

Pembuatan Peta Final yang Komprehensif

QGIS memiliki fitur pencetakan peta (print composer) yang kuat untuk menambahkan elemen kartografi penting: judul, legenda, skala, dan anotasi. Langkah ini mengubah citra mentah menjadi produk peta yang lengkap dan profesional. Peta yang dirancang dengan baik dapat secara efektif menceritakan kisah di balik data kepada audiens yang tidak memiliki latar belakang teknis, seperti para pengambil keputusan dan masyarakat umum. Kemampuan analisis spasial QGIS memungkinkan interpretasi yang lebih mendalam dari peta polusi yang dihasilkan. Pengguna dapat menambahkan layer vektor tambahan, seperti batas administrasi, lokasi stasiun pemantauan darat, atau jaringan jalan raya, di atas peta polusi. Dengan melakukan overlay, analisis dapat mengidentifikasi hotspot polusi dan mengaitkannya dengan sumber-sumber emisi yang diketahui, seperti kawasan industri atau pusat komersial.

Studi Kasus dan Implementasi

Pengawasan kadar kualitas udara di DKI Jakarta dan Jawa Barat

Nadzir et al. (2024) menggunakan Sentinel-5P untuk mengawasi kadar kualitas udara di DKI Jakarta dan Jawa Barat pada tahun 2020-2023. Hasil analisis temporal menunjukkan pola fluktuasi untuk konsentrasi CO, NO2, dan SO2. Selain itu, dapat diketahui pula sumber polusi di DKI Jakarta dan Jawa Barat, serta area perkotaan yang memiliki konsentrasi polutan tertinggi di area studi.

Monitoring urban heat island di Indonesia berbasis GeoAI

Darmawan et al. (2024) menggunakan MODIS land surface temperature berbasis GeoAI untuk monitoring fenomena urban heat island di Indonesia. Hasilnya adalah sebuah dashboard visualisasi UHI 17 kota di Indonesia pada tahun 2022 yang dapat ditelusuri oleh pengguna melalui https://bit.ly/UHIGDItenas.

Hubungan antara indeks citra satelit dengan tingkat pencemaran udara

Maftukhaturrizqoh et al. (2023) menganalisis hubungan antara indeks citra satelit MODIS dengan tingkat pencemaran udara, khususnya dengan PM2,5 di DKI Jakarta paska pandemi COVID-19. Hasil analisis menunjukkan variasi konsentrasi PM2,5 berkaitan dengan fluktuasi burn area index (BAI), normalized difference vegetation index (NDVI), dan enhanced vegetation index (EVI).

Tantangan, Keterbatasan, dan Masa Depan

Tantangan utama adalah masalah tutupan awan, yang dapat menghalangi pandangan satelit ke permukaan Bumi, menghasilkan celah data terutama pada data harian. Masalah ini dapat diatasi dengan teknik agregasi jangka panjang, seperti penghitungan rata-rata bulanan atau tahunan untuk menghasilkan peta yang lebih komprehensif. Keterbatasan lainnya adalah resolusi spasial. Sensor seperti TROPOMI, meskipun memiliki resolusi tinggi untuk ukuran satelit atmosfer, tidak dapat mendeteksi sumber polusi yang sangat kecil (misalnya, emisi dari satu kendaraan atau industri rumahan).

Data satelit dan data stasiun darat tidak seharusnya diadu, namun baiknya dilihat sebagai sumber data yang saling melengkapi. Satelit menyediakan cakupan yang menyeluruh dan global, sementara stasiun darat memberikan akurasi tingkat lokal yang luar biasa dan digunakan untuk validasi. Memvalidasi data satelit dengan pengukuran darat sangat penting untuk memastikan hasil yang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, strategi paling efektif adalah mengintegrasikan kedua sumber data ini untuk mendapatkan gambaran yang utuh.

Salah satu tantangan terbesar di Indonesia adalah ketersediaan stasiun pemantauan yang belum merata dan kapasitas sumber daya manusia yang terbatas. Untuk mengatasi hal ini, ada beberapa rekomendasi strategis:

  1. Membangun Sinergi: Mendorong kolaborasi antara akademisi, pemerintah, dan sektor swasta untuk berbagi data dan keahlian, menciptakan ekosistem pemantauan kualitas udara yang lebih kuat.
  2. Strategi Tepat Guna: Menggunakan pendekatan GEE-QGIS sebagai langkah awal yang efisien untuk mengidentifikasi area hotspot polusi, terutama di wilayah yang sama sekali tidak memiliki stasiun pemantauan darat. Setelah hotspot teridentifikasi, prioritas dapat diberikan untuk membangun atau menempatkan stasiun pemantauan darat di lokasi-lokasi tersebut, sehingga investasi dapat lebih terfokus dan hemat biaya.

Kesimpulan

Pemetaan dan evaluasi kualitas udara menggunakan pendekatan geospasial yang mengintegrasikan Google Earth Engine dan QGIS adalah solusi yang relevan, terutama untuk mengatasi tantangan pemantauan di negara-negara dengan jaringan stasiun darat yang terbatas seperti Indonesia. GEE dengan kekuatan komputasi awan dan katalog data besarnya unggul dalam spatiotemporal trend analysis berskala besar. Sementara QGIS sebagai perangkat lunak open-source, melengkapi alur kerja dengan visualisasi detail, analisis spasial yang kontekstual, dan peta yang informatif bagi pembaca petanya.

Peran Sentinel-5P untuk polutan gas, MODIS untuk partikel, dan Landsat untuk data pendukung sangat penting dalam menyediakan data yang diperlukan untuk diolah. Meskipun ada tantangan seperti tutupan awan dan resolusi spasial, masalah ini dapat diminimalisir dengan teknik agregasi data dan validasi dengan sensor pemantauan kualitas udara darat. Pendekatan ini menawarkan cara yang efektif untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif tentang kualitas udara dan membantu pemerintah, peneliti, dan masyarakat untuk membuat keputusan yang lebih baik dalam hal mitigasi polusi, kesehatan masyarakat, dan pembangunan lingkungan yang lebih berkelanjutan. (BSA)

Share: