Fotogrametri dan LiDAR untuk Penguatan Penegakan Hukum Lingkungan
- Articles
- admin seo

Sektor lingkungan hidup dan kehutanan di Indonesia menghadapi beragam tantangan serius yang mengancam kelestarian sumber daya alam, keanekaragaman hayati, dan kesejahteraan masyarakat. Pelanggaran hukum seperti pembalakan liar, penambangan ilegal, dan perambahan kawasan hutan terus menjadi ancaman. Penegakan hukum yang efektif terhadap kejahatan ini sering kali terhambat oleh luasnya area geografis yang harus diawasi, yang sebagian besar merupakan wilayah terpencil dan sulit diakses secara konvensional. Kondisi ini menuntut adanya inovasi dalam pengawasan dan penegakan hukum. Penggunaan teknologi penginderaan jauh berbasis drone seperti fotogrametri dan LiDAR merupakan langkah yang selaras dengan kebutuhan karena dapat menghadirkan meningkatnya efisiensi, akurasi, dan jangkauan operasional dalam hal penegakan hukum.
Sekilas Tentang Fotogrametri
Fotogrametri adalah seni, ilmu, dan teknologi untuk memperoleh informasi terpercaya tentang objek fisik dan lingkungan melalui proses perekaman, pengukuran, dan penafsiran citra foto. Prinsip dasarnya berpusat pada triangulasi–sebuah metode geometris yang menggunakan foto-foto yang diambil dari posisi berbeda untuk menghitung kedalaman dan posisi 3D setiap titik di objek. Kunci dari metode ini adalah adanya overlap yang cukup antar foto yang memungkinkan algoritma software seperti Agisoft Metashape untuk mengidentifikasi titik-titik dan mencocokkannya, menggabungkannya untuk menjadi objek 3D yang utuh.
Proses pemodelan 3D dengan fotogrametri umumnya mencakup empat tahap utama:
- Kalibrasi kamera: Perangkat lunak mencari titik-titik umum di antara foto-foto dan mencocokkannya, sekaligus menghitung posisi dan kalibrasi kamera untuk setiap gambar. Hasilnya adalah sparse point cloud dan set posisi kamera.
- Pembentukan dense point cloud: Setelah dikalibrasi, dense point cloud direkonstruksi untuk memberikan representasi objek yang lebih detail.
- Rekonstruksi mesh: Dense point cloud diubah menjadi model geometris (mesh) yang dapat diberi tekstur.
- Pemberian Tekstur: Tekstur visual yang berasal dari foto asli dipetakan ke permukaan model 3D, menghasilkan model yang fotorealistik.
Fotogrametri menawarkan sejumlah keunggulan yang menjadikannya pilihan menarik, terutama untuk pemetaan berskala besar. Biaya investasinya jauh lebih rendah dibandingkan LiDAR karena dapat menggunakan kamera nonmetrik standar, seperti DSLR atau kamera bawaan drone komersial. Selain itu, teknologi ini menghasilkan model visual dengan tekstur warna alami yang sangat detail dan fotorealistik, menjadikannya ideal untuk keperluan visualisasi, presentasi, atau dokumentasi visual kemajuan. Namun, keterbatasannya juga signifikan. Fotogrametri sangat bergantung pada kondisi pencahayaan yang konsisten, membuatnya tidak efektif untuk operasi di malam hari atau dalam kondisi minim cahaya. Lebih jauh, teknologi ini tidak dapat menembus kanopi vegetasi lebat, yang berarti data yang dihasilkan adalah model permukaan (Digital Surface Model atau DSM) yang mewakili puncak kanopi, bukan permukaan tanah yang sesungguhnya (Digital Terrain Model atau DTM). Akurasi vertikalnya juga cenderung lebih rendah dibandingkan akurasi horizontal, yang dapat menjadi kendala dalam aplikasi yang memerlukan pengukuran elevasi yang presisi.
Sekilas Tentang LiDAR
LiDAR (Light Detection and Ranging) adalah teknologi penginderaan aktif yang mengukur jarak dengan memancarkan pulsa laser ke target di permukaan bumi dan mengukur waktu yang dibutuhkan sinar tersebut untuk memantul kembali ke sensor. Dengan mengukur waktu pulang-pergi tersebut, jarak dapat dihitung. Data yang dikumpulkan berupa kumpulan titik-titik 3D, yang dikenal dengan nama point cloud.
Keunggulan utama LiDAR terletak pada akurasinya yang baik, baik secara vertikal maupun horizontal. LiDAR dapat mencapai akurasi vertikal hingga 1-3 cm dan akurasi horizontal 1-2 cm. Keunggulan lain yang tidak dimiliki fotogrametri adalah kemampuannya untuk menembus celah-celah kecil pada kanopi vegetasi, sehingga pulsa laser dapat memantul hingga ke bare earth. Hal ini memungkinkan pembuatan model DTM yang akurat di area bervegetasi lebat, menjadikannya alat yang tak tergantikan dalam kehutanan dan geologi. Karena tidak bergantung pada cahaya alami, LiDAR dapat beroperasi secara efektif di kondisi minim cahaya atau bahkan di malam hari. Kecepatan akuisisi datanya juga cenderung lebih efisien, terutama untuk ruang yang besar dan kompleks. Namun, kelemahan utama LiDAR adalah biaya investasi perangkat kerasnya yang tinggi. Selain itu, output awalnya berupa point cloud tanpa tekstur, sehingga model visualnya tidak se-foto-realistik fotogrametri kecuali digabungkan dengan data foto udara.
Pemanfaatan Keduanya dalam Konteks Penegakan Hukum Lingkungan
Penerapan teknologi fotogrametri dan LiDAR menawarkan solusi untuk berbagai jenis kejahatan lingkungan dan kehutanan yang terjadi, terutama di Indonesia. Berikut ini 3 studi kasus yang dapat dipertimbangkan sebagai iimplementasi teknologi geospasial untuk sektor penegakan hukum:
Pengawasan Penambangan Ilegal
Penambangan ilegal adalah salah satu pelanggaran yang menimbulkan kerusakan paling parah terhadap Bumi Indonesia. Pengawasan terhadap aktivitas ini sering kali sulit karena lokasinya yang tersembunyi di tengah area yang sulit dijangkau. Teknologi LiDAR dengan kemampuannya untuk menembus kanopi hutan lebat dan menghasilkan model elevasi digital (DTM) yang akurat dari permukaan tanah, dapat melakukan deteksi dini dan pemetaan kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas ilegal. Dengan membandingkan DTM dari periode waktu yang berbeda, dapat dilakukan identifikasi perubahan elevasi yang disebabkan oleh galian atau timbunan material secara akurat, bahkan jika lokasi tersebut tertutup oleh pohon. Selanjutnya, drone yang dilengkapi dengan sensor LiDAR dapat mengukur volume material tambang secara presisi, bahkan di area yang sulit dijangkau. Data ini memberikan bukti kuantitatif yang kuat yang dapat digunakan dalam proses penuntutan hukum.
Deteksi dan Pemantauan Pembalakan Liar
Pembalakan liar sering terjadi di area hutan yang sulit dijangkau. Fotogrametri dengan resolusi tinggi (yang memiliki ground sampling distance atau GSD rendah) memungkinkan pembuatan peta ortomosaik yang detail, sehingga penyidik dapat mengidentifikasi pohon-pohon yang telah ditebang atau area yang baru dibuka secara visual dari udara.
Sementara itu, LiDAR memberikan informasi yang lebih dalam (😁). Dengan memindai kanopi, LiDAR dapat mengukur karakter struktur pohon, seperti volume kanopi dan indeks luas daun. Data ini dapat digunakan untuk mengestimasi jumlah pohon yang hilang akibat pembalakan liar, memberikan bukti kuantitatif untuk kasus hukum. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI secara spesifik mendorong KLHK untuk menggunakan teknologi digital dan drone untuk mengintai aktivitas ilegal di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), salah satu kawasan konservasi terbesar di Indonesia yang terancam.
Pemantauan Kebakaran Hutan dan Lahan
Drone yang dilengkapi dengan sensor termal dan multispektral dapat berfungsi sebagai alat deteksi dini. Teknologi ini mampu mengidentifikasi hotspot atau titik panas dan melacak penyebaran api secara real-time. Hal ini memungkinkan tim respons untuk melakukan pemadaman yang lebih cepat dan tepat sasaran, yang krusial untuk mencegah bencana meluas. Setelah kebakaran, fotogrametri dan LiDAR dapat digunakan untuk memetakan area yang terbakar secara 3D, membantu dalam penilaian kerusakan dan perencanaan upaya rehabilitasi.
Validitas Data sebagai Bukti untuk Penegakan Hukum
Penggunaan data geospasial sebagai alat bukti di pengadilan merupakan isu krusial yang harus ditinjau secara mendalam. Keabsahan data ini telah memiliki landasan hukum yang kuat di Indonesia, namun, terdapat tantangan pada prosedur operasional.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya Pasal 5 ayat (1) dan (2), secara eksplisit menyatakan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik serta hasil cetaknya adalah alat bukti hukum yang sah dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai hukum acara yang berlaku. Ini memberikan fondasi hukum yang tak terbantahkan bagi penggunaan data yang dihasilkan dari fotogrametri dan LiDAR sebagai bukti.
Namun, meskipun landasan hukum sudah kuat, keabsahan data geospasial di pengadilan tetap bergantung pada integritas dan keandalan sistem elektronik yang digunakan dalam seluruh proses, mulai dari akuisisi hingga penyimpanan. Ada beberapa aspek yang harus tetap diperhatikan. Misalnya, data digital, meskipun sah, tidak dapat menggantikan seluruh alat bukti konvensional, terutama dalam kasus yang memerlukan bukti tertulis. Oleh karena itu, data geospasial harus dipandang berfungsi untuk menguatkan dan melengkapi bukti-bukti lain yang dikumpulkan di lapangan, seperti laporan investigasi, kesaksian, dan dokumen administrasi. Pendekatan ini meminimalkan risiko penolakan bukti dan memastikan kekuatan kasus di persidangan. Kedua, data geospasial rentan terhadap manipulasi atau perubahan memerlukan protokol keamanan yang ketat. Undang-Undang ITE mensyaratkan bahwa sistem elektronik yang digunakan harus mampu menjamin integritas data. Hal ini berarti SOP yang ketat harus ditetapkan untuk seluruh alur kerja. Sistem harus mampu mencatat setiap akses, modifikasi, dan movement data dari titik akuisisi di lapangan hingga ke server penyimpanan. Penggunaan protokol digital seperti hash function atau bahkan sistem blockchain-based chain of custody dapat memberikan tingkat integritas data yang tak terbantahkan. Adopsi prosedur semacam ini akan memberikan keyakinan yang memadai di mata hukum bahwa data yang disajikan adalah asli dan tidak mengalami perubahan sejak pertama kali direkam.
Implementasi Fotogrametri dan LiDAR
Untuk mengoptimalkan pemanfaatan fotogrametri dan LiDAR, diperlukan sebuah strategi implementasi yang mencakup pengadaan teknologi, pengembangan sumber daya manusia, dan integrasi sistem informasi.
Pengadaan Teknologi
Dalam memilih drone, jenis UAV yang sesuai dengan misi harus dipertimbangkan. UAV multirotor ideal untuk area yang lebih kecil dan memerlukan manuver tinggi, sementara UAV fixed-wing lebih efisien untuk pemetaan area yang sangat luas. Investasi yang paling strategis adalah pada sistem drone hybrid seperti VTOL yang menggabungkan teknologi multirotor dengan efisiensi fixed-wing. Ini dapat diandalkan untuk berbagai misi. Lebih baik lagi, jika berinvestasi pada sensor hibrida yang mengintegrasikan LiDAR dan kamera fotogrametri dalam satu unit. Hal ini memungkinkan akuisisi data LiDAR yang akurat dan data foto yang detail dalam satu kali terbang. Ini dapat meningkatkan efisiensi dan menghasilkan model 3D yang komprehensif.
Pengembangan Sumber Daya Manusia
Teknologi, secanggih apapun, tidak akan berfungsi secara optimal tanpa operator yang terampil. Oleh karena itu, pengembangan kapasitas SDM harus menjadi prioritas. Program pelatihan komprehensif perlu dirancang untuk tidak hanya mengajarkan pengoperasian drone, tetapi juga keterampilan teknis dalam pemrosesan data geospasial, analisis data, dan penyusunan laporan investigasi berbasis data untuk keperluan hukum. Pembentukan tim khusus yang terdiri atas ahli geospasial, insinyur kehutanan, dan ahli forensik digital sangat penting untuk memastikan prosedur pengumpulan dan pengolahan data sesuai dengan standar teknis dan hukum yang berlaku.
Integrasi Sistem Informasi
Data yang diperoleh dari misi drone harus diintegrasikan ke dalam sistem informasi yang lebih besaragar dapat dilakukan visualisasi, analisis, dan penyebaran informasi kepada tim lapangan dan penegak hukum lainnya. Setelah itu, data geospasial dapat digunakan untuk memvalidasi dan memperkuat laporan pengaduan masyarakat. Masyarakat dapat mengirimkan foto dan video kepada penegak hukum sebagai laporan, dan tim penegak hukum dapat secara cepat memverifikasi laporan tersebut dengan membandingkannya dengan data geospasial presisi tinggi menggunakan drone, mempercepat respons dan penindakan.
Prospek Masa Depan
Pemanfaatan fotogrametri dan LiDAR bukan sekadar adopsi alat baru, tetapi merupakan kunci perubahan penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Teknologi ini memungkinkan pengawasan yang lebih cepat, efisien, akurat, dan berbasis data, yang mana secara signifikan meningkatkan kemampuan penegak hukum untuk mendeteksi, mencegah, dan menindak pelanggaran. Dengan gabungan kemampuan fotogrametri untuk visualisasi dan LiDAR untuk akurasi geometrik, para pelaku penegakan hukum dapat membangun kasus hukum yang lebih kuat dengan bukti kuantitatif dan visual yang tidak terbantahkan. (BSA)
Share:
Media Sosial
Paling Populer


Pemetaan dan Evaluasi Kualitas Udara Berbasis Analisis Geospasial

